Minggu, 11 April 2010

16 Kekeliruan Umum Selama Ramadhan

Meski Ramadhan bulan adalah bulan ampunan, untuk menyambut bulan suci Ramadhan yang kini ‘menyapa’ kita, di bawah ini kami sarikan 16 kekeliruan umum yang sering dialami umat Islam selama Ramadhan

Hanya orang yang tidak tahu dan enggan saja yang tidak segera bergegas menyambut bulan suci ini dalam arti yang sebenarnya, lahir maupun batin. “Berapa banyak orang yang berpuasa (tapi) tak memperoleh apa-apa dari puasanya selain rasa lapar dan dahaga belaka”. (HR. Ibnu Majah & Nasa’i)

Namun, setiap kali usai kita menunaikan ibadah shiyam, nampaknya terasa ada saja yang kurang sempurna dalam pelaksanaannya, semoga poin-poin kesalahan yang acap kali masih terulang dan menghinggapi sebagian besar umat ini dapat memberi kita arahan dan panduan agar puasa kita tahun ini, lebih paripurna dan bermakna.

1. Merasa sedih, malas, loyo dan tak bergairah menyambut bulan suci Ramadhan

Acapkali perasaan malas segera menyergap mereka yang enggan menahan rasa payah dan penat selama berpuasa. Mereka berasumsi bahwa puasa identik dengan istirahat, break dan aktifitas-aktifitas non-produktif lainnya, sehingga ini berefek pada produktifitas kerja yang cenderung menurun. Padahal puasa mendidik kita untuk mampu lebih survive dan lebih memiliki daya tahan yang kuat. Sejarah mencatat bahwa kemenangan-kemenangan besar dalam futuhaat (pembebasan wilayah yang disertai dengan peperangan) yang dilancarkan oleh Rasul dan para sahabat, terjadi di tengah bulan Ramadhan.

Semoga ini menjadi motivator bagi kita semua, agar tidak bermental loyo & malas dan tidak berlindung di balik kata “Aku sedang puasa”.

2. Berpuasa tapi enggan melaksanakan shalat fardhu lima waktu

Ini penyakit yang --diakui atau tidak-- menghinggapi sebagian umat Islam, mereka mengira bahwa Ramadhan cukup dijalani dengan puasa semata, tanpa mau repot mengiringinya dengan ibadah shalat fardhu. Padahal shalat dan puasa termasuk rangkaian kumulatif (rangkaian yang tak terpisah/satu paket) rukun Islam, sehingga konsekwensinya, bila salah satunya dilalaikan, maka akan berakibat gugurnya predikat “Muslim” dari dirinya.

3. Berlebih-lebihan dan boros dalam menyiapkan dan menyantap hidangan berbuka serta sahur

Ini biasanya menimpa sebagian umat yang tak kunjung dewasa dalam menyikapi puasa Ramadhan, kendati telah berpuluh-puluh kali mereka melakoni bulan puasa tetapi tetap saja paradigma mereka tentang ibadah puasa tak kunjung berubah. Dalam benak mereka, saat berbuka adalah saat “balas dendam” atas segala keterkekangan yang melilit mereka sepanjang + 12 jam sebelumnya, tingkah mereka tak ubahnya anak berusia 8-10 tahun yang baru belajar puasa kemarin sore.

4. Berpuasa tapi juga melakukan ma’siat

Asal makna berpuasa bermakna menahan diri dari segala aktifitas, dalam Islam, ibadah puasa membatasi kita bukan hanya dari aktifitas yang diharamkan di luar Ramadhan, bahkan puasa Ramadhan juga membatasi kita dari hal-hal yang halal di luar Ramadhan, seperti; Makan, minum, berhubungan suami-istri di siang hari.

Kesimpulannya, jika yang halal saja kita dibatasi, sudah barang tentu hal yang haram, jelas lebih dilarang.

Sehingga dengan masa training selama sebulan ini akan mendidik kita menahan pandangan liar kita, menahan lisan yang tak jarang lepas kontrol, dsb.

“Barang siapa yang belum mampu meninggalkan perkataan dosa (dusta, ghibah, namimah dll.) dan perbuatan dosa, maka Allah tak membutuhkan puasanya (pahala puasanya tertolak)."

5. Sibuk makan sahur sehingga melalaikan shalat shubuh, sibuk berbuka sehingga melupakan shalat maghrib

Para pelaku poin ini biasanya derivasi dari pelaku poin 3, mengapa ? Sebab cara pandang mereka terhadap puasa tak lebih dari ; “Agar badan saya tetap fit dan kuat selama puasa, maka saya harus makan banyak, minum banyak, tidur banyak sehingga saya tak loyo”. Kecenderungan terhadap hak-hak badan yang over (berlebihan).

6. Masih tidak merasa malu membuka aurat (khusus wanita muslimah)

Sebenarnya momen Ramadhan bila dijalani dengan segala kerendahan hati, akan mampu menyingkap hijab ketinggian hati dan kesombongan sehingga seorang Muslimah akan mampu menerima segala tuntunan dan tuntutan agama ini dengan hati yang lapang. Menutup aurat, misalnya, akan lebih mudah direalisasi ketimbang di bulan selain Ramadhan. Mari kita hindari sifat-sifat nifaq yang pada akhir-akhir ini sangat diumbar dan dianggap sah, Ramadhan serba tertutup, saat lepas Ramadhan, lepas pula jilbabnya, inilah sebuah contoh pemahaman agama yang parsial (setengah-setengah), tidak utuh.

6. Menghabiskan waktu siang hari puasa dengan tidur berlebihan

Barangkali ini adalah akibat dari pemahaman yang kurang tepat dari sebuah hadits Rasul yang berbunyi “Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah” Memang selintas prilaku tidur di siang hari adalah sah dengan pedoman hadits diatas, namun tidur yang bagaimana yang dimaksud oleh hadits diatas? Tentu bukan sekedar tidur yang ditujukan untuk sekedar menghabiskan waktu, menunggu waktu ifthar (berbuka) atau sekedar bermalas-malasan, sehingga tak heran bila sebagian -besar- umat ini bermental loyo saat berpuasa Ramadhan.

Lebih tepat bila hadits diatas difahami dengan; Aktifitas tidur ditengah puasa yang berpahala ibadah adalah bila;

Tidur proporsional tersebut adalah akibat dari letih dan payahnya fisik kita setelah beraktifitas; Mencari rezeki yang halal, beribadah secara khusyu’ dsb.

Tidur proporsional tersebut diniatkan untuk persiapan qiyamullail (menghidupkan saat malam hari dengan ibadah)

Tidur itu diniatkan untuk menghindari aktifitas yang –bila tidak tidur- dikhawatirkan akan melanggar rambu-rambu ibadah Ramadhan, semisal ghibah (menggunjing), menonton acara-acara yang tidak bermanfaat, jalan-jalan untuk cuci mata dsb.

Pemahaman hadits diatas nyaris sama dengan pemahaman hadits yang menyatakan bahwa bau mulut orang yang berpuasa lebih harum daripada minyak misk (wangi) disisi Allah, bila difahami selintas maka akan menghasilkan pengamalan hadits yang tidak proporsional, seseorang akan meninggalkan aktifitas gosok gigi dan kebersihan mulutnya sepanjang 29 hari karena ingin tercium bau wangi dari mulutnya, faktanya bau mulut orang yang berpuasa tetap saja akan tercium kurang sedap karena faktor-faktor alamiyah, adapun bau harum tersebut adalah benar adanya secara maknawi tetapi bukan secara lahiriyah, secara fiqh pun, bersiwak atau gosok gigi saat puasa adalah mubah (diperbolehkan)

7. Meninggalkan shalat tarwih tanpa udzur/halangan

Benar bahwa shalat tarawih adalah sunnah tetapi bila dikaji secara lebih seksama niscaya kita akan dapatkan bahwa berpuasa Ramadhan minus shalat tarawih adalah suatu hal yang disayangkan, mengingat amalan sunnah di bulan ini diganjar sama dengan amalan wajib.

8. Masih sering meninggalkan shalat fardhu 5 waktu secara berjama’ah tanpa udzur/halangan (terutama untuk laki-laki muslim)

Hukum shalat fardhu secara berjama’ah di masjid di kalangan para fuqaha’ adalah fardhu kifayah, bahkan ada yang berpendapat bahwa hukumnya adalah fardhu ‘ain, berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang mengisahkan bahwa beliau rasanya ingin membakar rumah kaum Muslimin yang tidak shalat berjama’ah di masjid, sebagai sebuah ungkapan atas kekecewaan beliau yang dalam atas kengganan umatnya pergi ke masjid.

9. Bersemangat dan sibuk beribadah sunnah selama Ramadhan tetapi setelah Ramadhan berlalu, shalat fardhu lima waktu masih tetap saja dilalaikan

Ini pun contoh dari orang yang tertipu dengan Ramadhan, hanya sedikit lebih berat dibanding poin-poin diatas. Karena mereka Hanya beribadah di bulan Ramadhan, itupun yang sunnah-sunnah saja, semisal shalat tarawih, dan setelah Ramadhan berlalu, berlalu pula ibadah shalat fardhunya.

10. Semakin jarang membaca Al Qur'an dan maknanya

11. Semakin jarang bershadaqah

12. Tidak termotivasi untuk banyak berbuat kebajikan

13. Tidak memiliki keinginan di hatinya untuk memburu malam Lailatul Qadar

Poin nomor 8, 10, 11, 12 dan 13 secara umum, adalah indikasi-indikasi kecilnya ilmu, minat dan apresiasi yang dimiliki oleh seseorang terhadap bulan Ramadhan, karena semakin besar perhatian dan apresiasi seseorang kepada Ramadhan, maka sebesar itu pula ibadah yang dijalankannya selama Ramadhan.

14. Biaya belanja & pengeluaran (konsumtif) selama bulan Ramadhan lebih besar & lebih tinggi daripada pengeluaran di luar bulan Ramadan (kecuali bila biaya pengeluaran itu untuk shadaqah)

15. Lebih menyibukkan diri dengan belanja baju baru, camilan & masak-memasak untuk keperluan hari raya pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan

16. Lebih sibuk memikirkan persiapan hari raya daripada amalan puasa

Mereka lebih sibuk apa yang dipakai di hari raya dibanding memikirkan apakah puasanya pada tahun ini diterima oleh Allah Ta’aala atau tidak Orang-orang yang biasanya mengalami poin-poin nomor 14, 15 dan 16 adalah orang-orang yang tertipu oleh “fatamorgana Ramadhan”, betapa tidak ? Pada hari-hari puncak Ramadhan, mereka malah menyibukkan diri mereka dan keluarganya dengan belanja ini-itu, substansi puasa yang bermakna menahan diri, justru membongkar jati diri mereka yang sebenarnya, pribadi-pribadi “produk Ramadhan” yang nampak begitu konsumtif, memborong apa saja yang mereka mampu beli.

Tak terasa ratusan ribu hingga jutaan rupiah mengalir begitu saja, padahal di luar Ramadhan, belum tentu mereka lakukan. Semoga sentilan yang menyatakan bahwa orang Islam tidak konsisten dengan agamanya, karena di bulan Ramadhan yang seharusnya bersemangat menahan diri dan berbagi, ternyata malah memupuk semangat konsumerisme dan cenderung boros, dapat menggugah kita dari “fatamorgana Ramadhan”.

Semoga Allah menganugerahi kita dengan rahmat-Nya, sehingga mampu menghindari kesalahan-kesalahan yang kerap kali menghinggapi mayoritas umat ini, amin. Hanya dengan keikhlasan, perenungan dan napak tilas Rasul, insya Allah kita mampu meng-up grade (naik kelas) puasa kita, wallaahu a’lam bis shawaab

Mencintai karena Allah

Membicarakan cinta tak dapat dilepaskan dengan motif dan tujuan pelakunya. Sesuai arti katanya, cinta adalah perasaan hati dalam menyenangi sesuatu. Dalam bahasa Arab, cinta sering disebut dengan kata hubb. Mencintai sesuatu berarti sama dengan menyenanginya.

Cinta adalah salah satu sifat fitri (alami) yang memang Allah SWT anugerahkan kepada manusia. Dengan cinta, manusia satu dan lainnya dapat membina hubungan dengan harmonis. Rasulullah SAW bersabda, ''Sesungguhnya Allah SWT memiliki 100 rahmat kasih sayang. Sebanyak 99 Ia simpan untuk hamba-hamba-Nya nanti di akhirat, sedangkan satunya Ia turunkan kepada umat manusia. Dengan hanya satu rahmat inilah, manusia satu dengan yang lainnya saling mencintai.'' (HR Bukhari-Muslim).

Dengan demikian, cinta dan kasih sayang yang dimiliki manusia hakikatnya adalah bentuk anugerah tertinggi yang Allah SWT berikan. Itu artinya, cinta sesungguhnya harus dilandasi dengan keyakinan bahwa cinta itu adalah dari Allah SWT dan harus dimanfaatkan sepositif mungkin oleh manusia, semata-mata karena Allah. Dengan kata lain, mencintai manusia lain sebetulnya harus dilandasi sikap bahwa cintanya itu adalah karena Allah, sehingga cinta yang ditimbulkan akan selalu berada dalam jalur yang sudah Allah SWT gariskan, bukan cinta buta yang hanya memperturutkan hawa nafsu rendah. Mencintai seseorang karena Allah SWT akan mengantarkan seseorang pada satu level, di mana Allah SWT melimpahkan cinta abadi-Nya yang tak terkira.

Rasulullah SAW pernah bercerita kepada Abu Hurairah, ''Sesungguhnya ada seorang laki-laki yang berniat mengunjungi temannya dalam sebuah kampung. Dalam perjalanan, ia bertemu dengan malaikat yang sengaja Allah turunkan untuk menanyakan tujuannya. Laki-laki itu menjawab, ia ingin mengunjungi salah satu temannya di sebuah kampung. Malaikat bertanya lagi tentang alasan kunjungan itu, apakah karena temannya itu memiliki satu jasa berharga yang harus dibalas atau tidak. Dengan tegas, laki-laki itu menjawab ia tidak memiliki alasan selain bahwa kunjungannya itu adalah karena cintanya kepada temannya, cinta yang dilandasi semata-mata karena Allah SWT. Malaikat itu akhirnya memberi tahu kepada laki-laki itu bahwa ia adalah utusan Allah untuk menyampaikan kabar gembira bahwa laki-laki itu dijamin akan dicintai Allah selamanya, dengan sebab cintanya pada temannya itu.'' (HR Muslim).

Cinta sesama manusia hanya karena Allah, bukan karena alasan lain, itulah cikal bakal cinta abadi yang Allah SWT siapkan di akhirat kelak. Cinta model ini pulalah yang akan menjadi naungannya nanti di hari kiamat. Satu hari yang tidak ada naungan lagi selain naungan yang Allah berikan kepada manusia. Rasulullah SAW bersabda, ''Pada hari kiamat nanti Allah SWT akan berseru, 'Mana orang-orang yang saling mencintai hanya karena Aku? Pada hari kiamat yang tidak ada naungan ini, Aku akan memberikan naungan-Ku pada mereka semua'.'' (HR Muslim). Dengan cinta yang dilandasi keyakinan seperti inilah, umat manusia akan dapat mewujudkan kedamaian dan keharmonisan di antara sesama. Wallahu a'lam.

Istri yang tak direstui keluarga

Assalamualaikum Wr.Wb,

Saya sudah menikah beberapa bulan dan lebaran yang akan datang ini adalah lebaran pertama kami sejak berumah tangga. Sampai dengan saat ini keluarga dari pihak suami saya (ibu dan saudara-saudaranya, bapak sudah almarhum) belum bisa menerima pernikahan kami. Alasan mereka membenci saya adalah dengan dalih suku, latar belakang keluarga dan beberapa fitnah keji yang belum terbukti kebenarannya yang dilontarkan orang2 kepada saya dan mereka terima bulat-bulat tanpa re-check lagi.

Meskipun demikian, saya tidak ambil pusing dan Insya Allah pernikahan yang telah saya jalani ini kami bangun dan berangkat dari niat suci untuk membentuk keluarga yang sakinah. Oleh karenanya seberapapun anggapan tidak baik mereka terhadap saya, tidak saya pedulikan karena saya telah menganggap dan memperlakukan mereka sebagai bagian dari hidup saya. Suami saya yang mengenal saya dengan cukup baik, mengetahui hal tersebut dan mempercayai saya. Oleh karena itulah dia tidak ragu untuk memutuskan meikahi saya meskipun tidak direstui oleh ibu dan saudara-saudaranya.

Yang menjadi permasalahan saya adalah pada lebaran yang akan datang, saya dan suami sebenarnya mempunyai peluang untuk dapat datang dan bersilahturahmi dengan keluarganya. Sejujurnya saya sangat ingin bersilahturahmi dan bergabung dengan mereka. Namun mengingat atas perlakuan dan sambutan mereka terhadap saya dulu, membuat saya sedikit trauma dan juga takut membuat suasana lebaran yang ada menjadi kacau gara-gara kehadiran saya di tengah mereka.

Apa yang harus saya lakukan dalam situasi yang seperti ini? saya telah berdiskusi dengan suami dan dia menyerahkan sepenuhnya kepada saya. Perlu diketahui bahwa saya tidak pernah menghalangi suami untuk memberikan membantu keluarganya. Malahan saya terkadang menyarankan untuk dapat meningkatkan jumlah bantuan karena alhamdulillah dengan penghasilan kami berdua, tentunya tidak terlalu sulit untuk melakukan hal tersebut. Mohon saran dan pencerahannya.

Wass. Wr.Wb

Saya yang sedang bingung


Jawab:

Saudari yang lagi bingung...
Sebelumnya saya bersyukur sekali dan bangga atas kesadaran diri Anda mengenai sikap positif terhadap tindakan keluarga suami. Dan hal itulah yang menjadikan modal Anda bagaimana nantinya dalam menghadapi keluarga suami yang tidak merestui hubungan perkawinan Anda.

Jika ditinjau dari masalah hukum agama, ketidaksetujuan dari pihak keluarga suami tidak mempengaruhi sah dan tidaknya perkawinan Anda, dalam hal ini perkawinan Anda sah menurut hukum Islam selama Anda telah memenuhi syarat-syarat dan rukunnya.

Lepas dari masalah hukum semoga Anda lebih tidak kuatir bila nantinya Anda berhadapan dengan keluarga suami Anda. Menurut bebebrapa ahli pengembangan kepribadian yang mungkin pernah Anda baca juga, dan selaras dengan ajaran Islam yang universal bahwa lingkaran pengaruh dalam sikap kejiwaan Anda berangkat dari positif-thinking (berfikir positif = husnudzdzon) terhadap lingkungan baru. Hal ini akan memberikan respon dari dalam, semisal ketenangan Anda dalam menghadapi peristiwa baru dan dapat menguasai diri.

Kemudian sikap positif-thinking tersebut bisa Anda kembangkan pada ketulusan dalam berbuat termasuk membantu keluarga Anda. Adapun ketulusan sendiri mempunyai makna sesuatu yang berangkat dari sinergi batin menuju kebahagiaan lahir, arti gampangnya ketulusan merupakan keterpaduan batin dengan perbuatan yang akan melahirkan kebahagiaan. Seperti apabila kita memberi sedekah orang miskin tanpa tendensi membuat kita nyaman dan gembira tanpa harus berpikir mau diapakan pemberian itu, bahkan kita dengan melupakannya karena tertumpuk oleh perbuatan lain.

Atau kita coba kembali melihat Al-Qur'an secara praktis dalam surat As-Syuura (42) ayat ke-23 yang memberikan penafsiran mengenai respon dari niat positif dan tulus merupakan suatu karunia yang besar dan menggembirakan bagi hambaNya yang beriman dan beramal saleh. (Disini Allah mengajarkan kepada RasulNya juga kita agar mengatakan dalam suatu prinsip) "Aku tidak meminta kepadamu segelintir upah pun atas seruanku (untuk beriman dan berbuat saleh) kecuali kasih sayang dan kekeluargaan".

Implementasi dari itu semua berkaitan pula dengan cara Al-Qur'an dalam memberikan jalan bahwa awal sekali ketulusan itu berbentuk sikap konsisten, berupa ucapan-ucapan yang baik tanpa menghiraukan reaksi yang berbalik. Al-Qur'an juga telah mengajarkan kepada kita mengenai hal itu: "Ucapan yang baik dan pemaaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan si penerima, mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati." (QS. Al Baqarah (2): 263). Dari situ akan berlanjut berupa sikap positif Anda yang berupa ketenangan tanpa kekhawatiran dan tak gusar. Itu adalah konskuensi logis dari ucapan baik dan pemaaf Anda.

Anda juga bisa membaca apa yang pernah diucapkan Lilian Gie, seorang konselor kepribadian asal Amerika selalu meberikan saran demikian: "Selalu bersikap tulus terhadap orang yang Anda ajak bicara, akan menambah kepercayaan diri Anda dalam mengembangkan interaksi publik".

Begitulah saran saya, dan semua kita serahkan kepada Allah dengan do'a dan usaha, semoga berhasil dan Anda (begitu juga saya) bisa tercerahkan

Ikhlas dan Niat

Ikhlas dan Niat


Dari Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu, dia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Sesungguhnya segala pekerjaan itu (diterima atau tidaknya di sisi Allah) hanyalah tergantung niatnya, dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang diniatkannya, maka barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa hijrahnya untuk mendapatkan dunia atau seorang wanita yang akan dia menikah dengannya, maka hijrahnya kepada apa yang dia niatkan. HR. Muttafaq 'alaih.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Sesungguhnya orang yang pertama kali diputuskan perkaranya di hari kiamat adalah seseorang yang mati syahid di jalan Allah, maka dia didatangkan, dan diperlihatkan kepadanya segala nikmat yang telah diberikan kepadanya di dunia, lalu ia mengenalinya, maka Allah berkata kepadanya : apa yang telah kamu lakukan dengan nikmat ini?

maka orang itu menjawab : aku berperang di jalan-Mu sampai mati syahid, maka Allah berkata : kamu berdusta, akan tetapi kamu berperang agar dikatakan bahwa kamu adalah seorang pemberani, dan yang sedemikian itu telah diucapkan (kamu telak dipuji-puji dst sebagai imbalan apa yang telah kamu niatkan.pent.)

Maka diperintahkan supaya dia diseret di atas mukanya sampai dilemparkan di api neraka.

Dan seseorang yang mempelajari ilmu dan mengajarkannya, dan menghapal al-Qur'an, lalu dia didatangkan dan diperkenalkan kepadanya segala nikmat yang telah dikaruniakan kepadanya di dunia, maka diapun mengenalinya, maka dikatakan kepadanya : apa yang telah kamu lakukan dengan nikmat ini? maka dia menjawab : aku mempelajari ilmu dan mengajarkannya kepada orang lain, dan membaca al-Qur'an untuk-Mu.

Maka Allah berkata : kamu berdusta, akan tetapi kamu belajar dengan tujuan agar engkau dibilang seorang alim, dan engkau membaca/menghapal al-Qur'an supaya dibilang engkau seorang penghapal/pembaca al-Qur'an yang baik, dan semua itu sudah dikatakan (kamu telah mendapat pujian yang kamu harapkan sebagai imbalan niatmu) lalu diperintahkan agar dia diseret di atas mukanya sehingga dia dilemparkan ke api neraka.

Dan seseorang yang Allah berikan kepadanya keluasan rizki dan diberikan kepadanya segala macam harta, lalu dia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya segala nikmat yang telah diberikan kepadanya dan dia mengenalinya, maka Allah berkata kepadanya : apa yang kamu kerjakan dengan nikmat ini ? maka dia menjawab : tidak ada suatu jalan yang Engkau suka harta yang telah Engkau berikan agar dibelanjakan padanya kecuali aku telah membelanjakan harta itu di jalan tersebut karena Engkau, maka Allah berkata : Kamu berdusta, akan tetapi kamu melakukan itu agar dibilang bahwa kamu adalah seorang dermawan dan yang sedemikian itu telah dikatakan (kamu telah mendapat pujian tersebut di dunia sebagai imbalan dari niatmu itu), lalu diperintahkan agar dia diseret di atas mukanya sehingga dia dilemparkan ke api neraka. HR.Muslim

Keterangan singkat :

Niat adalah dasar segala perbuatan, oleh karena itu setiap perbuatan manusia diterima tidaknya disisi Allah sebatas niatnya, maka barangsiapa mengerjakan suatu pekerjaan niatnya murni karena Allah dan mengharapkan ganjaran akhirat, sedang perbuatannya itu sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka amalnya akan diterima oleh Allah, dan barangsiapa niatnya untuk selain Allah atau tidak ikhlas karena Allah seperti dia menyekutukan-Nya dengan makhluk, maka pekerjaannya itu akan ditolak dan akan menjadi bencana baginya.

Hikmah yang dapat diambil dari hadits di atas :

Bahwa dari syarat diterimanya amal adalah ikhlas yaitu bermaksud dengan amalnya itu karena Allah Ta'ala.

Pentingnya ikhlas, karena amal tanpa ikhlas akan menjadi bencana bagi yang mengerjakan pekerjaan tersebut, walaupun pekerjaan tersebut termasuk dari perbuatan ibadah yang mulia ( seperti memberikan sedekah, membaca al-Qur'an, mengajarkan ilmu bagi orang lain, bahkan mati syahid dalam medan perang melawan orang-orang kafir).

Bahwa baiknya bentuk suatu pekerjaan tidak cukup untuk diterimanya amal itu di sisi Allah akan tetapi harus dibarengi dengan niat ikhlas.

Wajibnya memperbaiki niat dalam segala perbuatan, dan berusaha keras untuk selalu ikhlas dalam beramal.